Sabtu, 05 Januari 2013

Gurunya Tuan Guru di Pulau Seribu Masjid

A.    Pendahuluan
Lombok adalah sebuah pulau yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di pulau inilah seorang yang benama Muhammad Zainuddin Abdul Majid dilahirkan yang pada zamannya sampai sekarang menjadi panutan para tokoh Nahdlatul Wathan (NW). Zainuddin pernah manjadikan pulau yang terkenal dengan seribu masjid ini sebagai kiblat menuntut ilmu Agama pada masanya. Oleh karenanya saya tertarik untuk menulis tentang beliau sebagai tokoh yang mempengaruhi karakteristik bangsa Indonesia.
B.     Biografi Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang nama kecilnya Muhammad Saggaf dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabi’ul Awal 1326 H (1904 M), di kampung Bermi, Desa Pancor, Kecamatan Rarang Timur (sekarang Kecamatan Selong) Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.
Ayah dari Maulana al-Syaikh (panggilan akarab Muhammad Zainuddin Abdul Majid)  adalah Guru Minah atau Guru Mukminah, itulah nama populernya yang selanjutnya diganti dengan nama Haji Abdul Majid, sedangkan ibunya bernama Inaq Syam yang selanjutnya berganti nama Hajah Halimah as-Sa’diyah setelah selesai melaksanakan ibadah haji.
Silsilah Zainuddin tidak bisa diungkapkan secara jelas, terutama silsilah ke atas, karena catatan dan dokumen silsilahnya ikut terbakar ketika rumahnya mengalami musibah kebakaran. Namun menurut sejumlah kalangan bahwa asal usulnya dari keturunan orang-orang terpandang, yakni dari keturunan raja-raja Selaparang yang ke-17.[1] Zainuddin selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dan ketujuh perempuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendampinginya sampai wafat dan ada pula yang wafat terlebih dahulu semasa ia hidup dan ada juga yang diceraikannya setelah beberapa bulan menikah. Di samping itu, ketujuh perempuan yang dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai macam latar belakang.
Adapun nama-nama istri beliau adalah: Khasanah, Hajah Siti Fatmah, Hajah Raihan, Hajah Siti Jauhariyah, Hajah Siti Rahmatullah, Hajah Siti Zuhkriyah Mukhtar dan Hajah Adniyah.
Selanjutnya dari ketujuh istrinya, beliau hanya mendapatkan dua orang putri, yaitu Siti Rauhun dari istrinya Hajah Siti Jauhariyah dan Siti Raihanun dari istrinya Hajah Siti Rahmatullah.
Dari kedua orang putrinya ia mendapatkan banyak cucu dan keturunan. Dari Siti Rauhun ia memperoleh enam orang cucu, yaitu: Siti Rahmi Jamilah, Syamsul Luthfi (sekarang sebagai Wakil Bupati Lombok Timur), Muhammad Zainul Majdi (sekarang sebagai Gubernur NTB), Muhammad Jamaluddin, Siti Suraya dan Siti Hidayati.
Sedangkan cucunya yang lahir dari Siti Raihanun adalah: Lalu Gede Wirasakti Amir Marni, Lale Laksemining Puji Jagat, Lalu Gede Syamsul Mujahidin, Lale Yaqutunnafis, Lale  Syifa’un Nufus, Lalu Gede Zainuddin at-Tsani dan Lalu Gede Muhammad Fatihin.
Akhirnya Zainuddin wafat pada hari Selasa, 21 Oktober 1997 jam 20.10 WITA cukup menyesakkan batin dan duka jutaan masyarakat muslim khususnya kalangan keluarga besar Nahdlatul Wathan, santri, kerabat, sahabat yang berada di Indonesia bahkan sampai ke Timur Tengah. Tiga puluh enam hari sebelum wafat, Zainuddin masih sempat mengumpulkan ratusan ribu jamaah Nahdlatul Wathan (NW) yang datang dari seluruh Indonesia. Dalam pidatonya, ia meminta agar segenap warga Nahdlatul Wathan tetap menjaga kekompakan dan selalu berpegang teguh pada motto perjuangan Nahdlatul Wathan.[2]
 
C.    Modernisasi Pendidikan Islam di NTB
Kedatangan TG. KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, modernisasi lembaga pendidikan Islam memasuki babak baru. Upaya Zainuddin untuk memodernkan lembaga pendidikan Islam dipengaruhi langsung dari Makkah. Tidak lama setelah beliau kembali dari Makkah, ia mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan (NW). Sejak awal berdirinya yang didirikannya sudah menerapkan sistem klasikal yang di adopsi dari madrasah al-Shaulatiyyah Makkah yang dikenal lebih modern. Hal ini dilakukan Zainuddin setelah melihat kondisi pendidikan Islam di Nusa Tenggara Barat masih tradisional yang menggunakan sistem halaqah sebagai metode pengajarannya. Ia menilai bahwa sekolah umum yang dikenal sebagai pendidikan Barat dipandang tidak ideal untuk diterapkan di lembaga pendidikan Islam. Sebab keberadaannya disediakan oleh kolonial dengan misi tertentu yang tidak sejalan dengan nilai Islam.[3]
Dengan misi tertentu ini menyebabkan masyarakat kurang tertarik untuk memasukkan anaknya di sekolah umum. Persepsi masyarakat inilah yang mendorong diterimanya gagasan Zainuddin untuk mendirikan madrasah. Ia menyeru agar ummat Islam merebut kemajuan modern yang diprakarsai oleh Barat, dan salah satu cara adalah harus melalui jalur pendidikan.
Jelas bahwa tema utama pemikiran Zainuddin tidak hanya melakukan purifikasi ajaran Islam melainkan mendorong ummat dan masyarakat Muslim agar mempelajari dan memanfaatkan kemajuan teknologi modern yang selama ini tidak dipelajari di madrasah atau pondok pesantren. Melalui Madrasah Nahdlatul Wathan, ia memperkenalkan sistem klasikal dan memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah. Tidak hanya sampai disini, Zainuddin menganggap bahwa untuk menguasai IPTEK haruslah menguasai ilmu alat seperti bahasa Arab dan Inggris.
Perjuangan untuk melakukan perubahan dan pembaharuan di dunia pendidikan Islam tersebut diselimuti oleh pengalaman heroik. Ia harus berhadapan dengan para ulama tradisional yang telah lama eksis ditengah masyarakat. Meski demikian Zainuddin tetap beranggapan bahwa hidup adalah perjuangan sedangkan perjuangan adalah kelelahan, kesibukan dan keyakinan. Semboyannya ialah hidup tanpa akidah dan gagasan tanpa keberanian berkurban adalah sia-sia, hampa bahkan sesat dan binasa.[4]
Lahirnya Madrasah Nahdlatul Wathan merupakan titik awal reformasi sistem  pendidikan Islam yang telah lama menjadi cita-cita Zainuddin. Sukses mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan, kemudian ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat yang dikhususkan bagi wanita.


D.    Modernisasi Kelembagaan
Terdapat dua konsep dasar tentang pemikiran pendidikan Islam Zainuddin. Pertama, memasukkan pengetahuan umum. Kedua, modernisasi sistem pengajaran. Keduanya merupakan gagasan orisinil, karena sebelumnya tidak ada institusi Islam yang mengajarkan pengetahuan umum dan menjadikan bahasa Arab dan Inggris sebagai pengantarnya.
Kini Madrasah Nahdlatul Wathan dan Madrasah Nahdlatul Banat berkembang bagaikan jamur di musim hujan. Zainuddin mengatakan:  “Madrasah Nahdlatul Wathan dan Nahdlatul Banat ada di mana-mana, namun tidak kemana-mana”. Maksudnya Madrasah Nahdlatul Wathan dan Madrasah Nahdlatul Banat berkembang keseluruh Indonesia, namun keberadaannya tetap dalam kesatuan Organisasi Nahdlatul Wathan yang berpusat di Pancor.
Pesatnya perkembangan ini membuat kalangan ulama’ tradisional mulai menyadari kekurangan dan kekeliruannya. Meski penetrasi tetap muncul, namun tidak berarti apa-apa bila dibandingkan di masa awal berdirinya. Apalagi perjuangannya diperkuat oleh barisan alumninya yang berkiprah di bidang pemerintahan dan politik yang semuanya tetap siap melanjutkan perjuangan Nahdlatul Wathan. Pesatnya perkembangan lembaga tersebut membuat DPRD NTB menetapkan daerah Lombok Timur sebagai daerah istimewa dalam pendidikan agama Islam.

E.     Modernisasi Sistem Pengajaran
Dalam bidang kurikulum, Zainuddin beranggapan bahwa menguasai bidang studi agama seperti tauhid, fiqh, akhlak, dan sebagainya baru tampil di bidang moral, tetapi tidak perofisional dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, dengan menguasai ilmu pengetahuan agama seseorang hanya mampu berperan sebagai pembimbing spiritual dan belum sanggup memerankan diri dalam dunia birokrasi dan teknologi sebab tidak memiliki keterampilan dalam bidang tertentu. Karena itu, menurut Zainuddin tidak ada dikotomi ilmu (ilmu umum dan ilmu agama), keduanya penting untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ide orientasi dan reposisi sistem pendidikan dan pengajaran tersebut sebagai bentuk respons Nahdlatul Wathan terhadap proses modernisasi yang diseponsori oleh pihak kolonial. Secara garis besar tedapat dua jenis respons Nahdlatul Wathan terhadap modernisasi pendidikan. Pertama, merevisi kurikulumnya dengan memperbanyak mata pelajaran umum dan keterampilan umum. Kedua, membuka kelembagaan-kelembagaan berikut fasilitas-fasilitas pendidikannya untuk kepentingan umum.[5]
Lebih jauh lagi, Organisasi Nahdlatul Wathan tidak cukup dengan eksperimen madrasahnya. Dalam kaitan dengan itu Zainuddin terus mencoba mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum yang berada dibawah Departemen Pendidikan Nasional. Dengan kata lain, Organisasi Nahdlatul Wathan tidak hanya mendirikan madrasah, namun juga mendirikan sekolah-sekolah umum yang mengikuti sistem kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Dalam persoalan tersebut, banyak lembaga pendidikan Islam seperti pesantren yang melakukan hal yang sama, khusunya di Jawa seperti Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang dan lainnya.
Memang dalam beberapa literatur, kalangan cendikiawan belum menjadikan pesantren Nahdlatul Wathan sebagai objek kajian, tetapi tidak berarti pesantren tersebut tidak mempunyai prestasi sebagai mana pesantren lain di Jawa. Jumlah 806 buah madrasah dari tingkat dasar sampai menengah dan 4 perguruan tinggi dan 10 lembaga pendidikan non-formal menjadi bukti keberhasilan pesantren Nahdlatul Wathan dalam bidang pendidikan.

F.     Karir Politik
Karir politik Zainuddin dimulai sejak ia diangkat sebagai konsultan Nahdlatul Ulama (NU) Sunda Kecil pada tahun 1950. Selanjutnya ketika Nahdlatul Ulama bersama ormas-ormas Islam lainnya bergabung dalam Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) di Nusa Tenggara Barat, maka ia diangkat sebagai Ketua Badan Penasehat Partai untuk daerah Lombok pada tahun 1952.
Dari tahun 1953-1955, Zainuddin menetapkan Organisasi Nahdlatul Wathan menganut kebijakan “politik-bebas”. Artinya organisasi ini tidak berafiliasi dengan kekuatan partai poltik manapun. Sehingga ia merestui terbentuknya Partai Nahdlatul Ulama, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan PSII di Lombok pada tahun 1953 dan 1954. Namun, pada tahun 1955, ia dan Organisasi Nahdlatul Wathan memilih berafiliasi dengan Partai Masyumi. Sehingga ia diangkat sebagai anggota konstitusi periode 1955-1959 sebagai hasil dari Pemilihan Umum pertama pada tahun 1955.[6]
Perkembangan selanjutnya Partai Masyumi dikucilkan dari DPR GR pada bulan April 1960 dan diperintahkan untuk membubarkan diri empat bulan kemudian, maka konstelasi perpolitikan nasional mulai mangalami kegoncangan. Polarisasi kekuatan politik menjadi tinggal tiga kekuatan besar, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Nadlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhirnya lahirlah gagasan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis), Nasionalis diwakili oleh PNI, Agama oleh NU, dan komunis oleh PKI.
KH. Zainuddin Abd. Madjid
 Setalah Partai Masyumi dibubarkan, dikalangan politisi Muslim Indonesia berkembang gagasan untuk membentuk suatu wadah partai politik sebagai pengganti Masyumi. Maka pada tahun 1968, lahirlah Partai Muslim Indonesia (PARMUSI). Partai ini didukung oleh sembilan organisasi Islam, diantaranya adalah Nahdlatul Wathan.
Khususnya di pulau Lombok, Nahdlatul Wathan merupakan ormas yang pertama kalinya dengan tegas medukung Parmusi. Asumsinya, Parmusi adalah duplikasi dari partai Masyumi. Namun dalam perkembangan selanjutnya Nahdlatul Wathan tidak dapat berperan aktif dalam partai tersebut. Hal ini disebabkan oleh tidak terakomodasinya aspirasi Nahdlatul Wathan sebagai ormas Islam yang memiliki basis konstituen terbesar dipulau Lombok.[7]
Selanjutnya setelah tidak aktif di Parmusi, Zainuddin dan Nahdlatul Wathan merubah haluan politiknya dengan berafiliasi kepada Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), suatu organisasi politik yang dibentuk atas gagasan Jendral A.H. Nasution. Dukungan yang diberikan oleh Zainuddin dan Nahdlatul Wathan kepada Sekber Golkar didasari oleh beberapa pertimbangan politik.
Dalam pemilihan umum tahun 1971 dan 1977, Zainuddin resmi terpilih sebagai anggota MPR RI dari Partai Golkar. Kemudian terpilih menjadi anggota MPR RI Fraksi Utusan Daerah tahun 1982.

G.    Jabatan dan Penghargaan
Secara kronologis, jabatan-jabatan yang telah diembannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Tahun 1934 mendirikan Pondok Pesantren al-Mujahidin.
2.      Tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI (Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah).
3.      Tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI (Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah).
4.      Tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk Daerah Lombok Timur.
5.      Tahun 1946 pelopor penggepuran NICA di Selong Lombok Timur.
6.      Tahun 1947/1948 menjadi Amirul Haji ke Makkah dari NIT (Negara Indonesia Timur).
7.      Tahun 1948/1949 Anggota Delegasi NIT ke Saudi Arabia.
8.      Tahun 1950 Konsultan Nahdlatul Ulama (NU) Sunda Kecil.
9.      Tahun 1952 Ketua Badan Penasehat Masyumi daerah Lombok.
10.  Tahun 1953 mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan.
11.  Tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama.
12.  Tahun 1953 merestui terbentuknya NU dan PSII di Lombok Timur.
13.  Tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok.
14.  Tahun 1955-1959 Anggota Konstitusi RI hasil pemilu satu (1955).
15.  Tahun 1964 mendirikan Akademi Paedagogik Nahdlatul Wathan.
16.  Tahun 1965 mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits al-Majidiyah as-Syafi’iyah Nahdlatul Wathan.
17.  Tahun 1971-1982 Anggota MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah.
18.  Tahun 1971-1982 Anggota Penasehat Majelis Ulama Indonesia Pusat.
19.  Tahun 1975 Ketua Penasehat Bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram.
20.  Tahun 1977 mendirikan Universitas Hamzanwadi.
21.  Tahun 1977 menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi.

Selanjutnya , disamping jabatan-jabatan struktural dan non-struktural yang diembannya, ia juga memperoleh beberapa tanda jasa dan penghargaan atas dedikasi kepeloporan dan pengabdian terhadap Negara Republik Indonesia.
Pada tahun 1995 ia dianugrahi Piagam Penghargaan dan Medali Pejuang Pembangunan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dan pada tanggal 4 November 2000 dengan KEPRES RI. No. 199/TK/Tahun 2000, KH. Abdurrahman Wahid selaku Presiden RI menganugrahi Piagam Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra kepada Zainuddin dalam posisi dan jabatan beliau sebagai Pendiri Persyarikatan Nahdlatul Wathan Lombok Timur NTB sebagai tokoh Pejuang Pembela Kemerdekaan, serta Mantan Anggota MPR RI Tahun 1971-1982.[8]

H.    Kesimpulan
Dari semua uraian itu, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Zainuddin dan Nahdlatul Wathan telah mampu menjadi cahaya dalam kegelapan pengetahuan ummat Islam yang ada di Lombok khususnya dan Indonesia umumnya. Tidak hanya itu, Zainuddin juga mampu menciptakan sebuah modernisasi dibidang pendidikan, kelembagaan dan lain sebagainya. Selain berdakwah melalui pendidikan, Zainuddin juga terjun ke ranah politik untuk memperbaiki keadaan perpolitikan bangsa ini. Sampai sekarang dakwah Zainuddin masih di teruskan oleh keturunannya diantaranya adalah TG. KH. Zainul Majdi yang menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat sekaligus sebagai kyai yang memimpin pondok pesantren Nahdlatul Wathan. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya kalau kita mengatakan bahwa Zainuddin adalah seorang kyai yang mampu dan ikut serta dalam pembentukan karakteristik bangsa ini. (Yusri Hamzani).

DAFTAR PUSTAKA
Noor, Muhammad, dkk,  Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Maji. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004.
Nu’man, dkk, Biografi Maulana Syeikh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Pancor: Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, 1999.
Masnun, dkk, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Maji. Jakarta: Pustaka Al-Miqdad, 2007.
Muslihah Habib, dkk, Reposisi Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan. Jakarta: Panamadani, 2010.





[1]Muhammad Noor, dkk, Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zaenuddin Abdul Majid, (Jakrta, PT. Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. 1, hal. 136
[2]Masnun, dkk, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, (Jakarta: Pustaka Al-Miqdad, 2007).
[3]Masnun, dkk, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, (Jakarta: Pustaka Al-Miqdad, 2007), cet. 1, hal. 50

[4]Nu’man, dkk, Biografi Maulana Syeikh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, (Pancor: Pengurus Besar Nahdhatul Wathan, 1999), hal. 24
[5]Masnun, dkk, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, (Jakarta: Pustaka Al-Miqdad, 2007), cet. 1, hal. 50

[6]Muhammad Noor, dkk, Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. 1, hal. 269
[7]Habib Muslihah, dkk, Reposisi Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan, (Jakarta: Panamadani, 2010), cet. 3, hal. 14

[8]Muhammad Noor, dkk, Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. 1, hal. 281

Tidak ada komentar:

Posting Komentar