Senin, 21 Januari 2013

Tafsir: Theologi pembebasan Asghar ali Engineer



Muhammad Badri

Ummat Islam mulai “mensponsori” kegiatan dakwah yang menekankan pada formalitas ibadah ritual. Sedangkan sistem nilai Islam yang menekankan pada aspek egaliter, keadilan dan persaudaraan menjadi tereduksi dan bahkan menghilang. Hal inilah yang diinginkan oleh kaum atas tersebut. Kemapanan posisi dan kekuasaan. Penerapan syariah yang formal dan tegas inilah yang kemudian melekatkan label fundamentalis. Umat Islam menolak untuk menerima hal itu, tetapi ternyata klaim itu tidak sepenuhnya salah.

Beberapa ekonom Pakistan mengatakan bahwa apa yang dianggap sebagai ekonomi Islam
adalah tidak lebih dari gagasan asing yang tidak jelas. Kita lihat bahwa seluruh penekanan
perbankan Islam adalah mobilisasi modal tanpa bunga untuk invesatasi dalam jumlah yang sangat besar dengan bekerjasama dengan perusahaan multinasional barat. Eksploitasi yang memakai simbol Islam yang non-bunga. Sayangnya, perbankan Islam ini tidak digunakan sebagai kebijakan utama yang bersifat instrumental untuk memperkuat posisi ekonomi nasional yang dikelola pemodal pribumi, tetapi hanya menjadi sub ordinat modal asing.

Dalam konsep ekonomi ini, Engineer kembali mengutip pendapat beberapa tokoh, salah satunya adalah Bani Sadr. Pada saat revolusi Iran, bersama Dr. Ali Syariati, ia berusaha membut konsep revolusi Islam yang konsisten dengan cara menafsirkan ulang ajaran Al Qur’an, sunnah Nabi, dan pendapat Imam Ali. Bani Sadr merasa bahwa di dalam Islam, hak milik tidak bersifat absolut. Ia juga mengelompokkan masyarakat berdasarkan jenis hubungan kekayaan yang ada didalamnya. Ia berpendapat bahwa nasionalisme tidak hanya diperbolehkan, namun memang sangat diperlukan. Sama halnya dengan sebuah bangsa yang tidak memiliki hak absolut terhadap kekayaan kolektif, sebagaimana yang Allah miliki. Bani Sadr menjelaskan bahwa tujuan nyata dari masyarakat Islam adalah membebaskan manusia. Dan ini hanya dapat dilakukan di dalam suatu masyarakat dimana kekayaan bukan diperoleh dengan kekuatan, namun dengan kerja. Disini Engineer kembali membandingkan dengan konsep Marxism yang serupa tapi tidak sama, karena marxis tidak mengenal tauhid.

Dalam tafsir Al Qur’an, Engineer menerangkan bahwa tafsiran dan pendapat orang berbeda-beda, ketika sampai pada kata-kata, ungkapan dan ayat-ayat tertentu di dalam Al Qur’an. Karenanya, tugas penerjemah merupakan tantangan tersendiri.

Ia membandingkan antara terjemahan Muhammad Asad dan Ahmed Ali. Kedua terjemahan itu berbeda dengan karya terjemahan abad pertengahan. Pesan moral yang ingin ditekankan oleh Engineer adalah setiap orang berhak untuk memahami Al Qur’an sesuai dengan pandangan dan pengalamannya masing-masing. Sangat membebaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar