A.
Pendahuluan
Lombok
adalah sebuah pulau yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di pulau
inilah seorang yang benama Muhammad Zainuddin Abdul Majid dilahirkan yang pada
zamannya sampai sekarang menjadi panutan para tokoh Nahdlatul Wathan (NW). Zainuddin
pernah manjadikan pulau yang terkenal dengan seribu masjid ini sebagai kiblat
menuntut ilmu Agama pada masanya. Oleh karenanya saya tertarik untuk menulis
tentang beliau sebagai tokoh yang mempengaruhi karakteristik bangsa Indonesia.
B.
Biografi Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Muhammad
Zainuddin Abdul Majid yang nama kecilnya Muhammad Saggaf dilahirkan pada hari
Rabu, 17 Rabi’ul Awal 1326 H (1904 M), di kampung Bermi, Desa Pancor, Kecamatan
Rarang Timur (sekarang Kecamatan Selong) Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.
Ayah
dari Maulana al-Syaikh (panggilan akarab Muhammad Zainuddin Abdul Majid) adalah Guru Minah atau Guru Mukminah, itulah
nama populernya yang selanjutnya diganti dengan nama Haji Abdul Majid,
sedangkan ibunya bernama Inaq Syam yang selanjutnya berganti nama Hajah Halimah
as-Sa’diyah setelah selesai melaksanakan ibadah haji.
Silsilah
Zainuddin tidak bisa diungkapkan secara jelas, terutama silsilah ke atas,
karena catatan dan dokumen silsilahnya ikut terbakar ketika rumahnya mengalami
musibah kebakaran. Namun menurut sejumlah kalangan bahwa asal usulnya dari
keturunan orang-orang terpandang, yakni dari keturunan raja-raja Selaparang
yang ke-17.[1]
Zainuddin selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dan ketujuh
perempuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendampinginya sampai wafat dan
ada pula yang wafat terlebih dahulu semasa ia hidup dan ada juga yang
diceraikannya setelah beberapa bulan menikah. Di samping itu, ketujuh perempuan
yang dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari
berbagai macam latar belakang.
Adapun
nama-nama istri beliau adalah: Khasanah, Hajah Siti Fatmah, Hajah Raihan, Hajah
Siti Jauhariyah, Hajah Siti Rahmatullah, Hajah Siti Zuhkriyah Mukhtar dan Hajah
Adniyah.
Selanjutnya
dari ketujuh istrinya, beliau hanya mendapatkan dua orang putri, yaitu Siti
Rauhun dari istrinya Hajah Siti Jauhariyah dan Siti Raihanun dari istrinya
Hajah Siti Rahmatullah.
Dari
kedua orang putrinya ia mendapatkan banyak cucu dan keturunan. Dari Siti Rauhun
ia memperoleh enam orang cucu, yaitu: Siti Rahmi Jamilah, Syamsul Luthfi
(sekarang sebagai Wakil Bupati Lombok Timur), Muhammad Zainul Majdi (sekarang
sebagai Gubernur NTB), Muhammad Jamaluddin, Siti Suraya dan Siti Hidayati.
Sedangkan
cucunya yang lahir dari Siti Raihanun adalah: Lalu Gede Wirasakti Amir Marni,
Lale Laksemining Puji Jagat, Lalu Gede Syamsul Mujahidin, Lale Yaqutunnafis,
Lale Syifa’un Nufus, Lalu Gede Zainuddin
at-Tsani dan Lalu Gede Muhammad Fatihin.
Akhirnya
Zainuddin wafat pada hari Selasa, 21 Oktober 1997 jam 20.10 WITA cukup
menyesakkan batin dan duka jutaan masyarakat muslim khususnya kalangan keluarga
besar Nahdlatul Wathan, santri, kerabat, sahabat yang berada di Indonesia
bahkan sampai ke Timur Tengah. Tiga puluh enam hari sebelum wafat, Zainuddin masih
sempat mengumpulkan ratusan ribu jamaah Nahdlatul Wathan (NW) yang datang dari
seluruh Indonesia. Dalam pidatonya, ia meminta agar segenap warga Nahdlatul Wathan
tetap menjaga kekompakan dan selalu berpegang teguh pada motto perjuangan Nahdlatul
Wathan.[2]
C.
Modernisasi Pendidikan Islam di NTB
Kedatangan
TG. KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, modernisasi lembaga pendidikan Islam
memasuki babak baru. Upaya Zainuddin untuk memodernkan lembaga pendidikan Islam
dipengaruhi langsung dari Makkah. Tidak lama setelah beliau kembali dari Makkah,
ia mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan (NW). Sejak awal berdirinya yang didirikannya
sudah menerapkan sistem klasikal yang di adopsi dari madrasah al-Shaulatiyyah
Makkah yang dikenal lebih modern. Hal ini dilakukan Zainuddin setelah melihat
kondisi pendidikan Islam di Nusa Tenggara Barat masih tradisional yang
menggunakan sistem halaqah sebagai metode pengajarannya. Ia menilai
bahwa sekolah umum yang dikenal sebagai pendidikan Barat dipandang tidak ideal
untuk diterapkan di lembaga pendidikan Islam. Sebab keberadaannya disediakan
oleh kolonial dengan misi tertentu yang tidak sejalan dengan nilai Islam.[3]
Dengan
misi tertentu ini menyebabkan masyarakat kurang tertarik untuk memasukkan
anaknya di sekolah umum. Persepsi masyarakat inilah yang mendorong diterimanya
gagasan Zainuddin untuk mendirikan madrasah. Ia menyeru agar ummat Islam
merebut kemajuan modern yang diprakarsai oleh Barat, dan salah satu cara adalah
harus melalui jalur pendidikan.
Jelas
bahwa tema utama pemikiran Zainuddin tidak hanya melakukan purifikasi ajaran
Islam melainkan mendorong ummat dan masyarakat Muslim agar mempelajari dan memanfaatkan
kemajuan teknologi modern yang selama ini tidak dipelajari di madrasah atau
pondok pesantren. Melalui Madrasah Nahdlatul Wathan, ia memperkenalkan sistem
klasikal dan memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah.
Tidak hanya sampai disini, Zainuddin menganggap bahwa untuk menguasai IPTEK
haruslah menguasai ilmu alat seperti bahasa Arab dan Inggris.
Perjuangan
untuk melakukan perubahan dan pembaharuan di dunia pendidikan Islam tersebut
diselimuti oleh pengalaman heroik. Ia harus berhadapan dengan para ulama
tradisional yang telah lama eksis ditengah masyarakat. Meski demikian Zainuddin
tetap beranggapan bahwa hidup adalah perjuangan sedangkan perjuangan adalah
kelelahan, kesibukan dan keyakinan. Semboyannya ialah hidup tanpa akidah dan
gagasan tanpa keberanian berkurban adalah sia-sia, hampa bahkan sesat dan
binasa.[4]
Lahirnya
Madrasah Nahdlatul Wathan merupakan titik awal reformasi sistem pendidikan Islam yang telah lama menjadi
cita-cita Zainuddin. Sukses mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan, kemudian ia
mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat yang dikhususkan bagi wanita.
D.
Modernisasi Kelembagaan
Terdapat
dua konsep dasar tentang pemikiran pendidikan Islam Zainuddin. Pertama, memasukkan
pengetahuan umum. Kedua, modernisasi sistem pengajaran. Keduanya
merupakan gagasan orisinil, karena sebelumnya tidak ada institusi Islam yang
mengajarkan pengetahuan umum dan menjadikan bahasa Arab dan Inggris sebagai
pengantarnya.
Kini
Madrasah Nahdlatul Wathan dan Madrasah Nahdlatul Banat berkembang bagaikan
jamur di musim hujan. Zainuddin mengatakan: “Madrasah Nahdlatul Wathan dan Nahdlatul Banat
ada di mana-mana, namun tidak kemana-mana”. Maksudnya Madrasah Nahdlatul Wathan
dan Madrasah Nahdlatul Banat berkembang keseluruh Indonesia, namun keberadaannya
tetap dalam kesatuan Organisasi Nahdlatul Wathan yang berpusat di Pancor.
Pesatnya
perkembangan ini membuat kalangan ulama’ tradisional mulai menyadari kekurangan
dan kekeliruannya. Meski penetrasi tetap muncul, namun tidak berarti apa-apa
bila dibandingkan di masa awal berdirinya. Apalagi perjuangannya diperkuat oleh
barisan alumninya yang berkiprah di bidang pemerintahan dan politik yang
semuanya tetap siap melanjutkan perjuangan Nahdlatul Wathan. Pesatnya
perkembangan lembaga tersebut membuat DPRD NTB menetapkan daerah Lombok Timur
sebagai daerah istimewa dalam pendidikan agama Islam.
E.
Modernisasi Sistem Pengajaran
Dalam
bidang kurikulum, Zainuddin beranggapan bahwa menguasai bidang studi agama
seperti tauhid, fiqh, akhlak, dan sebagainya baru tampil di bidang moral,
tetapi tidak perofisional dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya,
dengan menguasai ilmu pengetahuan agama seseorang hanya mampu berperan sebagai
pembimbing spiritual dan belum sanggup memerankan diri dalam dunia birokrasi
dan teknologi sebab tidak memiliki keterampilan dalam bidang tertentu. Karena
itu, menurut Zainuddin tidak ada dikotomi ilmu (ilmu umum dan ilmu agama),
keduanya penting untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ide
orientasi dan reposisi sistem pendidikan dan pengajaran tersebut sebagai bentuk
respons Nahdlatul Wathan terhadap proses modernisasi yang diseponsori oleh
pihak kolonial. Secara garis besar tedapat dua jenis respons Nahdlatul Wathan
terhadap modernisasi pendidikan. Pertama, merevisi kurikulumnya dengan
memperbanyak mata pelajaran umum dan keterampilan umum. Kedua, membuka
kelembagaan-kelembagaan berikut fasilitas-fasilitas pendidikannya untuk
kepentingan umum.[5]
Lebih
jauh lagi, Organisasi Nahdlatul Wathan tidak cukup dengan eksperimen madrasahnya.
Dalam kaitan dengan itu Zainuddin terus mencoba mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan umum yang berada dibawah Departemen Pendidikan Nasional. Dengan kata
lain, Organisasi Nahdlatul Wathan tidak hanya mendirikan madrasah, namun juga
mendirikan sekolah-sekolah umum yang mengikuti sistem kurikulum Departemen
Pendidikan Nasional. Dalam persoalan tersebut, banyak lembaga pendidikan Islam
seperti pesantren yang melakukan hal yang sama, khusunya di Jawa seperti Pondok
Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang dan lainnya.
Memang
dalam beberapa literatur, kalangan cendikiawan belum menjadikan pesantren Nahdlatul
Wathan sebagai objek kajian, tetapi tidak berarti pesantren tersebut tidak
mempunyai prestasi sebagai mana pesantren lain di Jawa. Jumlah 806 buah madrasah
dari tingkat dasar sampai menengah dan 4 perguruan tinggi dan 10 lembaga
pendidikan non-formal menjadi bukti keberhasilan pesantren Nahdlatul Wathan
dalam bidang pendidikan.
F.
Karir Politik
Karir
politik Zainuddin dimulai sejak ia diangkat sebagai konsultan Nahdlatul Ulama
(NU) Sunda Kecil pada tahun 1950. Selanjutnya ketika Nahdlatul Ulama bersama
ormas-ormas Islam lainnya bergabung dalam Partai Majelis Syura Muslimin
Indonesia (MASYUMI) di Nusa Tenggara Barat, maka ia diangkat sebagai Ketua
Badan Penasehat Partai untuk daerah Lombok pada tahun 1952.
Dari
tahun 1953-1955, Zainuddin menetapkan Organisasi Nahdlatul Wathan menganut
kebijakan “politik-bebas”. Artinya organisasi ini tidak berafiliasi dengan
kekuatan partai poltik manapun. Sehingga ia merestui terbentuknya Partai Nahdlatul
Ulama, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan PSII di Lombok pada tahun 1953
dan 1954. Namun, pada tahun 1955, ia dan Organisasi Nahdlatul Wathan memilih
berafiliasi dengan Partai Masyumi. Sehingga ia diangkat sebagai anggota
konstitusi periode 1955-1959 sebagai hasil dari Pemilihan Umum pertama pada
tahun 1955.[6]
Perkembangan
selanjutnya Partai Masyumi dikucilkan dari DPR GR pada bulan April 1960 dan
diperintahkan untuk membubarkan diri empat bulan kemudian, maka konstelasi
perpolitikan nasional mulai mangalami kegoncangan. Polarisasi kekuatan politik
menjadi tinggal tiga kekuatan besar, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI),
Partai Nadlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhirnya
lahirlah gagasan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis), Nasionalis diwakili
oleh PNI, Agama oleh NU, dan komunis oleh PKI.
KH. Zainuddin Abd. Madjid |
Setalah
Partai Masyumi dibubarkan, dikalangan politisi Muslim Indonesia berkembang
gagasan untuk membentuk suatu wadah partai politik sebagai pengganti Masyumi.
Maka pada tahun 1968, lahirlah Partai Muslim Indonesia (PARMUSI). Partai ini
didukung oleh sembilan organisasi Islam, diantaranya adalah Nahdlatul Wathan.
Khususnya
di pulau Lombok, Nahdlatul Wathan merupakan ormas yang pertama kalinya dengan
tegas medukung Parmusi. Asumsinya, Parmusi adalah duplikasi dari partai
Masyumi. Namun dalam perkembangan selanjutnya Nahdlatul Wathan tidak dapat
berperan aktif dalam partai tersebut. Hal ini disebabkan oleh tidak
terakomodasinya aspirasi Nahdlatul Wathan sebagai ormas Islam yang memiliki
basis konstituen terbesar dipulau Lombok.[7]
Selanjutnya
setelah tidak aktif di Parmusi, Zainuddin dan Nahdlatul Wathan merubah haluan
politiknya dengan berafiliasi kepada Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber
Golkar), suatu organisasi politik yang dibentuk atas gagasan Jendral A.H.
Nasution. Dukungan yang diberikan oleh Zainuddin dan Nahdlatul Wathan kepada
Sekber Golkar didasari oleh beberapa pertimbangan politik.
Dalam
pemilihan umum tahun 1971 dan 1977, Zainuddin resmi terpilih sebagai anggota
MPR RI dari Partai Golkar. Kemudian terpilih menjadi anggota MPR RI Fraksi
Utusan Daerah tahun 1982.
G.
Jabatan dan Penghargaan
Secara
kronologis, jabatan-jabatan yang telah diembannya dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Tahun 1934 mendirikan Pondok Pesantren al-Mujahidin.
2.
Tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI (Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah).
3.
Tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI (Nahdlatul Banat Diniyah
Islamiyah).
4.
Tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk Daerah Lombok Timur.
5.
Tahun 1946 pelopor penggepuran NICA di Selong Lombok Timur.
6.
Tahun 1947/1948 menjadi Amirul Haji ke Makkah dari NIT (Negara
Indonesia Timur).
7.
Tahun 1948/1949 Anggota Delegasi NIT ke Saudi Arabia.
8.
Tahun 1950 Konsultan Nahdlatul Ulama (NU) Sunda Kecil.
9.
Tahun 1952 Ketua Badan Penasehat Masyumi daerah Lombok.
10.
Tahun 1953 mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan.
11.
Tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama.
12.
Tahun 1953 merestui terbentuknya NU dan PSII di Lombok Timur.
13.
Tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok.
14.
Tahun 1955-1959 Anggota Konstitusi RI hasil pemilu satu (1955).
15.
Tahun 1964 mendirikan Akademi Paedagogik Nahdlatul Wathan.
16.
Tahun 1965 mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits al-Majidiyah as-Syafi’iyah
Nahdlatul Wathan.
17.
Tahun 1971-1982 Anggota MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah.
18.
Tahun 1971-1982 Anggota Penasehat Majelis Ulama Indonesia Pusat.
19.
Tahun 1975 Ketua Penasehat Bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti
Hajar Mataram.
20.
Tahun 1977 mendirikan Universitas Hamzanwadi.
21.
Tahun 1977 menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi.
Selanjutnya
, disamping jabatan-jabatan struktural dan non-struktural yang diembannya, ia
juga memperoleh beberapa tanda jasa dan penghargaan atas dedikasi kepeloporan
dan pengabdian terhadap Negara Republik Indonesia.
Pada
tahun 1995 ia dianugrahi Piagam Penghargaan dan Medali Pejuang Pembangunan oleh
Pemerintah Republik Indonesia. Dan pada tanggal 4 November 2000 dengan KEPRES
RI. No. 199/TK/Tahun 2000, KH. Abdurrahman Wahid selaku Presiden RI
menganugrahi Piagam Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra kepada Zainuddin dalam
posisi dan jabatan beliau sebagai Pendiri Persyarikatan Nahdlatul Wathan Lombok
Timur NTB sebagai tokoh Pejuang Pembela Kemerdekaan, serta Mantan Anggota MPR
RI Tahun 1971-1982.[8]
H.
Kesimpulan
Dari
semua uraian itu, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Zainuddin dan Nahdlatul
Wathan telah mampu menjadi cahaya dalam kegelapan pengetahuan ummat Islam yang
ada di Lombok khususnya dan Indonesia umumnya. Tidak hanya itu, Zainuddin juga mampu
menciptakan sebuah modernisasi dibidang pendidikan, kelembagaan dan lain
sebagainya. Selain berdakwah melalui pendidikan, Zainuddin juga terjun ke ranah
politik untuk memperbaiki keadaan perpolitikan bangsa ini. Sampai sekarang
dakwah Zainuddin masih di teruskan oleh keturunannya diantaranya adalah TG. KH.
Zainul Majdi yang menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat sekaligus
sebagai kyai yang memimpin pondok pesantren Nahdlatul Wathan. Oleh karena itu
tidak berlebihan kiranya kalau kita mengatakan bahwa Zainuddin adalah seorang
kyai yang mampu dan ikut serta dalam pembentukan karakteristik bangsa ini. (Yusri Hamzani).
DAFTAR PUSTAKA
Noor, Muhammad, dkk, Refleksi
Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Maji.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004.
Nu’man, dkk, Biografi
Maulana Syeikh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Pancor: Pengurus Besar
Nahdlatul Wathan, 1999.
Masnun, dkk, Tuan
Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Maji. Jakarta: Pustaka Al-Miqdad, 2007.
Muslihah Habib, dkk, Reposisi Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan. Jakarta:
Panamadani, 2010.
[1]Muhammad
Noor, dkk, Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zaenuddin Abdul Majid, (Jakrta, PT. Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. 1, hal.
136
[3]Masnun,
dkk, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, (Jakarta: Pustaka Al-Miqdad,
2007), cet. 1, hal. 50
[4]Nu’man,
dkk, Biografi Maulana Syeikh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, (Pancor:
Pengurus Besar Nahdhatul Wathan, 1999), hal. 24
[5]Masnun,
dkk, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, (Jakarta: Pustaka Al-Miqdad,
2007), cet. 1, hal. 50
[6]Muhammad
Noor, dkk, Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. 1, hal. 269
[7]Habib Muslihah, dkk, Reposisi Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan, (Jakarta:
Panamadani, 2010), cet. 3, hal. 14
[8]Muhammad
Noor, dkk, Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. 1, hal. 281
Tidak ada komentar:
Posting Komentar