Muhammad Badri |
Ummat
Islam mulai “mensponsori” kegiatan dakwah yang menekankan pada formalitas ibadah ritual. Sedangkan sistem nilai Islam yang
menekankan pada aspek egaliter, keadilan dan
persaudaraan menjadi tereduksi dan bahkan menghilang. Hal inilah yang
diinginkan oleh kaum atas tersebut.
Kemapanan posisi dan kekuasaan. Penerapan syariah yang formal dan tegas inilah yang kemudian
melekatkan label fundamentalis. Umat Islam menolak untuk menerima hal itu, tetapi ternyata klaim
itu tidak sepenuhnya salah.
Beberapa
ekonom Pakistan mengatakan bahwa apa yang dianggap sebagai ekonomi Islam
adalah
tidak lebih dari gagasan asing yang tidak jelas. Kita lihat bahwa seluruh
penekanan
perbankan
Islam adalah mobilisasi modal tanpa bunga untuk invesatasi dalam jumlah yang sangat besar dengan
bekerjasama dengan perusahaan multinasional barat. Eksploitasi yang memakai simbol Islam
yang non-bunga. Sayangnya, perbankan Islam ini tidak digunakan sebagai kebijakan utama yang bersifat
instrumental untuk memperkuat posisi ekonomi nasional yang dikelola pemodal pribumi, tetapi hanya
menjadi sub ordinat modal asing.
Dalam
konsep ekonomi ini, Engineer kembali mengutip pendapat beberapa tokoh, salah satunya adalah
Bani Sadr. Pada saat revolusi Iran, bersama Dr. Ali Syariati, ia berusaha membut konsep revolusi Islam yang
konsisten dengan cara menafsirkan ulang ajaran Al Qur’an, sunnah Nabi, dan pendapat Imam Ali.
Bani Sadr merasa bahwa di
dalam Islam, hak milik tidak bersifat absolut. Ia juga mengelompokkan
masyarakat berdasarkan
jenis hubungan kekayaan yang ada didalamnya. Ia berpendapat bahwa nasionalisme tidak hanya diperbolehkan,
namun memang sangat diperlukan. Sama halnya dengan sebuah bangsa yang tidak memiliki hak absolut
terhadap kekayaan kolektif,
sebagaimana yang Allah miliki. Bani Sadr menjelaskan bahwa tujuan nyata
dari masyarakat Islam
adalah membebaskan manusia. Dan ini hanya dapat dilakukan di dalam suatu masyarakat dimana
kekayaan bukan diperoleh dengan kekuatan, namun dengan kerja. Disini Engineer kembali membandingkan
dengan konsep Marxism yang serupa tapi tidak sama, karena marxis tidak mengenal tauhid.
Dalam
tafsir Al Qur’an, Engineer menerangkan bahwa tafsiran dan pendapat orang berbeda-beda,
ketika sampai pada kata-kata, ungkapan dan ayat-ayat tertentu di dalam Al Qur’an. Karenanya, tugas penerjemah merupakan
tantangan tersendiri.
Ia membandingkan antara
terjemahan Muhammad Asad dan Ahmed Ali. Kedua terjemahan itu berbeda dengan karya terjemahan abad
pertengahan. Pesan moral yang ingin ditekankan oleh Engineer adalah setiap orang berhak
untuk memahami Al Qur’an sesuai dengan pandangan dan pengalamannya masing-masing. Sangat
membebaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar